AKHIRNYA AKU MENULIS
Malam ini aku hanya termenung di depan komputer temanku. Tak seperti
biasanya. Biasanya aku datang ke rumah temanku itu hanya untuk menulis. Selalu
berjalan biasa, aku selalu menulis. Menulis cerpen, terkadang. Merangkai kata
menjadi puisi, ini yang sering. Tak lebih. Tapi, kali ini aku tak bisa.
Imajinasiku seakan tumpul. Otakku tak mengalir deras seperti biasanya. Dan aku
hanya termenung. Iya! Begitu saja. Tak lebih. Juga tak kurang.
Aku pun tak mau pusing. Aku mengikuti
khayalan buntuku. Kalau memang tak ad ide tak apaapa. Menurutku tak harus marah
pada diri yang memang mungkin sedang ingin istirahat. Sedang tak ingin diganggu
oleh siapapun. Termasuk aku dan keinginanku yang sering kali memforsirnya. Tak
mau tahu dengan capeknya. Mengacuhkan waktu istirahatnya tanpa membuatkan
jadwal.
“Tet … teet … teeet.” Ada tamu. Aku
mengintipnya dulu dari lobang pintu. Ah, tamu itu tak kukenal. Tapi, aku harus
membukakan pintu untuknya. Siapa tahu dia punya perlu. Perlu penting atau tidak
tak jadi masalah. Karena aku tak berhak mengukur kepentingannya dengan apa yang
aku anggap penting. Sekali pun, biasanya, aku sering diperlakukan tak adil oleh
orangorang disekitarku. Aku tak dilayani selayaknya tatkala aku datang dengan
membawa halhal yang tak penting bagi mereka. Ah, aku bukan mereka. Dan aku tak
harus meniru mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan mereka
bisa saja menjadi kekuranganku ketika aku memaksakannya berada padaku. Dan toh,
ini juga bukan rumahku. Siapa tahu, dia ada perlu sama Radi atau Helmi.
Kubuka pintu rumah temanku itu. Aku
memberinya seulas senyum. Entah. Aku selalu begitu kalau bertemu dengan
orangorang tanpa terkecuali. Sudah menjadi reflek. Sekali pun aku pernah tahu
bahwa agamaku mengajarkan hal itu. Dan terkadang ada sebentuk harap di balik
senyumku, aku ingin dia dan siapa pun juga, menjadi bahagia saat bertemu
denganku. Dan lagi, aku sering merasakan gundah dan gelisah sedikit menghilang.
Ada rasa lega saat senyum itu kulepas. Apakah itu memang kekuatan senyum?
Makanya, agama pun menganjurkan. Entahlah.
Tapi, tamu itu tak membalas senyumku.
Apakah dia tak senang menikmati senyumku? Ah, biarlah. Tak usah kupikir tentang
dia yang senang atau tidak dengan senyumku. Bukankah itu hak dia untuk tidak senang
dan senang menerima pemberian siapapun. Apalagi tatkala dia sedang tak
membutuhkannya. Dia malah menatapku lekatlekat setelah mengucapkan salam. Aku
jadi salah tingkah dibuatnya. Juga jadi sebab penasaran merundungku.
“Silahkan masuk.” Aku pecah kesunyian
anatara aku dan tamu itu. Aku ingin mengalihkan tatapannya yang sangat berani
itu. Aku merasa aneh. Dia tak merasa kikuk atau kaget. Dia malah melenggang
masuk. Itu saja. Dan duduk. Aku pun duduk menghadapinya karena cuma aku di
rumah itu. Yang lain sedang keluar. Entah kemana. Tadi, saat aku datang, Radi
hanya bilang mau keluar tanpa memberi penjelasan. Dan aku tak tanya lebih
lanjut karena dia memang selalu begitu.
“Maaf. Aku mungkin udah ngebuat kamu
bingung.” Tamu itu membuka mulut dengan matanya yang terus lekat seakan
terpikat dan terikat oleh pandanganku yang biasabiasa saja menututku.
“Owh … nggak apaapa, Mas.” Aku mencoba
untuk bersikap maklum agar tak ada perasaan tak enak mendera tamuku itu. Dan
aku tak bisa membiarkannya saja. Aku harus bisa bersikap wajar dalam menghadapi
tamu. Sekali pun aku sekarang sebenarnya sedang suntuk karena otakku tak mau
diajak menulis.
“Ingin bertemu siapa, Mas?” Tanyaku
sebagai basabasi dalam kikukku meladeni pandangan matanya yang tak mau pergi
dari mataku.
“Aku memang sengaja datang ke rumah ini
karena aku tak mengenal penghuninya. Tapi, ini jangan dibahas dulu. Aku masih
ingin menjelaskan sikapku tadi yang telah membuatmu sedikit gelisah dan mungkin
kamu dirundung oleh tanya yang berdatangan disebabkan ulahku. Pertama, aku tak
ngebalas senyummu. Dan kedua, aku telah membuat kamu salah tingkah dengan
pandangan mataku yang seakan menghakimimu. Untuk yang pertama, aku memang
sedang nggak bisa senyum. Aku sedang dirundung pilu. Pilu itu begitu sakit
kurasa sehingga menghalangi senyumku untuk senyummu. Juga untukmu. Karena
biasanya saya tersenyum tanpa menunggu orang lain melempar senyumnya.
“Dan aku, tadi, kaget saat melihat
matamu. Matamu bersinar ketulusan. Juga indah. Enak dipandang. Mungkin kamu
sedang kurang melihat halhal yang dilarang agama. Atau kamu sering berwudlu
sehingga airnya meninggalkan sinar hakikat cinta. Tapi, entahlah jika kamu tak
melakukan semua itu. Itu hanya kata guruku dulu sewaktu saya sekolah di Aliyah.
Guru Hadistku itu pernah bilang begitu tanpa menguatkannya dengan argumentasi
Hadist atau Quran. Ini apologiku untuk yang kedua. Dan, mungkin, dengan
keteranganku ini hatimu mendapat kelegaan.
“Oya, dengan alasan yang pertama itu aku
datang kemari. Aku ingin menghilangkan gundah hatiku dengan sekedar bercerita
pada orangorang yang tak kukenal. Menurutku, ngobrol dengan orang tak dikenal
itu lebih asyik. Karena aku akan bebas lepas tanpa dicengkeram rasa canggung
dan malu. Sebenarnya aku tahu untuk menghilangkan rasa gelisah itu dengan mendekatkan
diri pada Tuhan. Tapi, aku gagal. Mungkin aku masih belum mencintaNya secara
tulus. Dalam mengerjakan perintahNya masih seringkali hanya mengerjakan sebatas
menghilangkan kewajiban dengan sepi dari kekhusyukan dan menikmati detikdetik
saat bersama denganNya.
“Maaf, dari tadi aku banyak omong.”
“Owh … gak apaapa, Mas.” Jawabku setelah
sekian lama hanya bisa melongo dan bengong saja mendengarkan penjelasannya yang
panjang lebar. Tak kusangka dan tak kuduga akan bertemu dengan tamu seperti
ini. Awalnya bersikap aneh. Sekarang bicara panjang lebar tanpa bisa
dihentikan. Dan bicaranya sangat sopan dan teratur. Sungguh hari ini aku sedang
menemukan hal yang sangat luar biasa. Itu bagiku. Entah orang lain. Bisa saja
sependapat denganku atau tidak.
“Tadi, Mas bilang kalau mataku indah.
Eh, kalau boleh tahu namanya siapa, Mas?”
“Maaf. Sekali lagi aku hanya bisa bilang
maaf. Karena kedatangan saya kemari hanya untuk menceritakan kegundahan hati
pada orang yang tak kukenal, aku tak bisa menyebutkan namaku. Dan kalau kamu
memang tak berkenan ngobrol dengan orang seperti aku, aku pun bisa pamit
sekarang juga. Dan sekali lagi saya hanya bisa ucapkan maaf telah mengganggu
waktumu.”
“Owh … gak apaapa, Mas kalau memang
seperti itu adanya. Saya nggak bisa memaksa. Dan saya punya banyak waktu untuk
mendengarkan kisah, Mas. Ini jujur. Bukan karena perasaan nggak enak. Karena
saya memang tipe orangnya senang mendengarkan curhat temanteman. Dan
temantemanku ratarata senang curhat sama aku.”
“Sudah kuduga dan kesimpulanku dari
pancaran matamu berarti tak salah dan tak berlebihan. Kamu memang orangnya
tulus.”
“Mas ini dari tadi hanya memuji melulu.
Sebenarnya mau cerita apa, Mas?”
Dia menengadah ke langit rumah temanku
seakan mengingat hal yang membuatnya resah. Aku mengikuti geraknya kemana pun
menuju. Dan sekarang aku gagal membuntutinya saat pandangan beratnya jatuh ke
mukaku. Dia seperti tadi lagi. Menatap lekatlekat mataku. Dan bibirnya mulai
bergerak merajut kata memulai cerita dengan tanpa melepas mataku.
“Aku sedang “sakit jiwa”. Prilakuku tak
normal seperti orang biasanya. Aku tak betah di rumah sebagaimana temantemanku.
Aku pernah mencoba seharisemalem di rumah dengan mambaca bukubuku kesukaanku.
Kamu tahu? Aku menangis saat itu. Jiwaku merintih mengajakku jalanjalan kemana
aja. Yang penting jalan. Jadi, kalau saya lagi main ke rumah temen dan pamit
mau pulang, dia tanya seperti ini “mo pulang ke rumahnya siapa lagi, Mas?”
tanyanya padaku. Karena mereka tahu kalo aku nggak akan pulang ke rumah saya
sendiri.
Bibirnya mematung. Dia sedikit menghela
nafas. Dan aku masih harus terus melayani tatapan matanya yang begitu lekat
menikmati mataku yang indah menurutnya. Yang bercahayakan ketulusan cinta
hakikat, juga menurutnya.
“Itulah yang membuat jiwaku resah. Aku
jadi bertanyatanya pada diriku sendiri kenapa aku harus seperti ini. Tapi, aku
tak menemukan jawabnya. Aku jadi pusing mikirin gimana caranya agar aku bisa
ngerubah prilakuku ini. Nama sampyan siapa, Mas?”
“Aku Rudi, Mas.”
“Iya, mas Rudi. Karena aku udah selesai
bercerita, aku pamit dulu. Terima kasih karena mas Rudi telah sudi mendengarkan
resahku yang, mungkin, nggak bermutu menurutmu.” Dia beranjak dari duduknya.
Mengulurkan tangan. Tapi, aku acuhkan dengan menatapnya bingung. Dan dia pun
menggapai tanganku. Aku membiarkan dan mengantarkannya sampai ke pintu. Dia
mengucapkan salam dan menghilang menembus malam.
Aku masih termangu di pintu rumah
temanku.
“Tut … tut … tut.” Sms menyelinap di
inbox Hpku. “Rud, aku gak bisa pulng. Malas. Udh malam lg. Km di rumh aja ya.”
“Hmm …” Radi ternyata mau nginap. Entah di rumah siapa.
***
Aku kembali ke tempat semula. Depan
komputer temanku. Ah, ternyata otakku masih buntu. “Atau aku nulis kisah orang
barusan itu. Orang misterius bin aneh. Mau curhat saja harus ke orang yang tak
dikenalnya. Untung ketemu sama orang seperti saya. Orang yang sangat mengedepan
kepentingan orang lain. Hmm … sombongku kumat lagi”
Kuikuti usul batin barusan. Jemariku
mengetik cepat seperti mentari mencakar kulitkulit permukaan bumi dengan
panasnya. Atau seperti tusukantusukan kukukuku dingin pada musim dingin yang
menembus lapisan bajuku walau tiga “berakhiran” jaket “berbumbu” bulubulu.
Entah bulu apa. Dia tak kelihatan. Juga tak sempat tanya waktu dulu membelinya
di sebuah toko pasar luak.
Tulisanku mengalir deras. Baru kali ini
aku menulis dari kisah nyata. Bagiku, menulis cerpen kisah nyata itu tak
kreatif. Letak kreatifitasnya dimana coba? Hanya menyalin. Tapi, aku pernah
membaca sebuah buku panduan tentang kepenulisan. Dalam buku itu dipaparkan
penulispenulis terkenal sekaligus sebagian kecil tulisannya. Sekali lagi, dalam
buku itu aku temukan penulis terkenal bernama … ah, aku lupa. Dan yang aku
ingat, bahwa dia sering menulis dari kisah nyata yang dirubah menjadi fiktif.
Biasanya yang dia rubah adalah konflik dan setting.
Ya! Biarlah malam ini aku menulis kisah
nyata itu. Akan kuikuti cara penulis terkenal yang kulupakan namanya itu.
Kini aku sibuk menghapus tulisan yang
baru kutulis itu. Hanya masih dua lembar. Font 12. Dan spasi 1,5. Sebenarnya
ada rasa sayang menelikung. Tapi, biarlah. Bukankah itu hanya salinan. Bukan
hasil imajinasi yang menyerpih di jalanjalan berdebu. Atau pada angin malam.
Atau dalam sepi. Juga dalam gelaktawa keramaian di antara guyonan temanteman.
Aku rubah kisah tamuku yang barusan
pulang. Aku menjadikannya fiktif. Terang saja, aku tak benarbenar merubahnya.
Hanya menambahkan. Bukankah dia tadi belum menemukan jalan keluarnya? Nah,
dalam tulisanku itu, aku ceritakan kalau dia sudah menemukan solusi. Dan dia
pun menjadi betah menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi seperti angin yang
menyemilir. Bukan lagi air yang terus mengalir mengikuti kelok sungai.
Dia kukisahkan sebagai burung Camar yang
terbang tinggi, tapi pasti kembali ke pinggir laut yang membiru. Kembali
menikmati hidangan Tuhan yang berserakan di antara pinggiranpinggiran pantai.
Camar itu tersenyum. Sesekali menengadah ke hamparan langit luas yang juga
membiru seperti hamparan laut. Seakan mengabari langit “Di pantai ini aku
mengingatmu. Saat aku bermain denganmu, aku mengenang pantai tempat asalku
mendatangimu.”
Si tamu yang sangat senang menatap
mataku itu kini menikah. Pernikahan itulah yang telah merubahnya. Seakan
mengikat dalam tenang. Karena dia sudah menikmati rumahnya yang berpayung rumah
tangga. Dia tak lagi menangis. Malah senyum terukir manis.
Kini, aku sudah selesai menulis
cerpenku. Aku termenung di depan komputer temanku itu. Melihat dan mengoreksi
hasil tulisanku itu. Sebenarnya aku salah. Karena menurut temanku yang sudah jago
menulis, “setelah kau selesai menulis, simpan dulu. Harus diinkubasi. Jangan
langsung diedit.” Katanya yang kuikuti dengan anggukan kepalaku yang seakan
patuh.
Biasanya aku memang patuh. Tapi, tidak
untuk sekarang. Maafkan aku, teman. Sekarang aku sangat butuh uang. Aku akan
segera mengirimkan ke media cetak. Dan itu tak butuh waktu untuk menunggu lagi.
Karena aku benarbenar butuh uang.
Kulanjutkan editanku. Kubenahi tanda
baca yang salah di sanasini. Kadang aku memicingkan mataku. Kadang aku
tersenyum menikmati katakataku yang kurasa lucu. “Ah, tulisanku. Semoga kau
diterima oleh media cetak. Dan kalau itu terjadi, berarti Tuhan telah
mengirimmu menjadi penolongku. Penolong dompetku yang lagi sakit kanker,
kantong kering kata temanku.” Batinku berbisik. Mengingat Tuhan dengan semangat
menggebu saat menerima kurnianya.
Dan malam ini aku bisa menulis walau
sebenarnya otakku sedang buntu. Aku bisa menulis karena tamu misterius itu.
Yang jelas ini juga adalah anugerah Tuhan. Salah satu caranya untuk menolongku.
Unutk memberi rezeki padaku. “Ah, Tuhanku selalu banyak cara. Ah, Tuhanku
selalu hadir pada hambaNya yang mau berusaha. Oh, Tuhan, terima kasih. Semoga
aku selalu bersyukur saat menerima rizkimu. Dan sabar dalam cobaMu. Amin.”